Nah disini kita bakal kasih perspektif berbeda tentang salah satu “penyakit” tersebut, tentunya bukan hitung-hitungan matematis ekonomi yang bikin pusing kepala kalian.
Kalau berbicara sumber daya alam dan tingkat perekonomian suatu negara pasti memiliki kaitan yang erat, dimana kekayaan sumber daya alam secara teoritis akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi, pada kenyataannya hal tersebut justru sangat bertentangan karena negara-negara di dunia yang kaya akan sumber daya alamnya seringkali merupakan negara dengan tingkat ekonomi yang rendah.
Hal ini disebabkan negara yang cenderung memiliki sumber pendapatan besar dari hasil bumi memiliki kestabilan ekonomi sosial yang lebih rendah daripada negara-negara yang bergerak di sektor industri dan jasa. Di samping itu, negara yang kaya akan sumber daya alam juga cenderung tidak memiliki teknologi yang memadai dalam mengolahnya. Korupsi, perang saudara, lemahnya pemerintahan dan demokrasi juga menjadi faktor penghambat dari perkembangan perekonomian negara-negara tersebut.
Namun, dari segi tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi negara tersebut cenderung lebih rendah, jika dibandingkan dengan negara lain yang justru tidak memiliki sumber daya alam. Hal ini umumnya terjadi di negara-negara berkembang, seperti di negara-negara miskin di benua Afrika, Asia ataupun Amerika Latin. Misalnya, kasus yang dialami Nigeria yang memiliki kekayaan sumber daya alam berupa minyak bumi, Republik Kongo yang memiliki sumber daya alam berupa intan, dan Pantai Gading yang memiliki sumber daya alam berupa coklat.
Umumnya, negara-negara berkembang tersebut mengeksploitasi sumber daya alamnya secara intensif dan menggantungkan sumber pendapatan per kapitanya dari ekstraksi sumber daya alam tersebut. Kegiatan ekstraktif tersebut biasanya tidak melibatkan penciptaan nilai tambah (value added) yang besar karena hanya dilakukan sebatas mengekspor sumber daya alam sebagai bahan baku. Selain itu, kegiatan ekstraktif dan eksploitasi secara berlebihan akan mengancam keberlanjutan dari pembangunan ekonomi karena cepat atau lambat sumber daya alam itu bisa habis sama sekali (depletable resources).
Secara umum, terdapat beberapa terminologi yang menunjukkan natural resource curse. Salah satunya adalah Dutch Disease atau yang sering disebut sebagai “penyakit Belanda” yang pernah dialami oleh Belanda. Terminologi ini pertama kali diperkenalkan oleh The Economist pada tahun 1997 untuk menjelaskan penurunan di sektor industri manufaktur di Belanda setelah penemuan sumber gas alam besar di tahun 1959.
Dutch disease merupakan suatu konsep yang menunjukkan hubungan antara peningkatan eksploitasi sumber daya alam dengan penurunan kompetitivitas sektor industri. Kegiatan eksploitasi dan ekspor sumber daya alam besar-besaran (booming sector) di suatu negara akan mendorong apresiasi nilai tukar mata uang negara tersebut. Apresiasi nilai tukar tersebut akan berdampak pada menurunnya daya saing ekspor barang yang dihasilkan sektor produksi lain, selain sektor ekstraktif sumber daya alam, dalam hal ini sektor industri atau manufaktur negara tersebut. Dengan kata lain, secara tidak langsung fenomena natural resource curse dan Dutch disease telah menjadi salah satu penyebab terjadinya deindustrialisasi di negara yang memiliki sumber daya alam melimpah.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia memang belum sepenuhnya terjangkit penyakit ini, tapi kita sedang berada di dalam prosesnya.
Di Indonesia sendiri Sindrom “penyakit Belanda” banyak ditemukan dalam kasus eksplotasi SDA di luar Jawa, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Daerah yang mengalami eksploitasi tambang paling parah adalah Kalsel dengan batu bara-nya, Kaltim dengan gas dan batu bara, Papua dengan tambang tembaganya, dan Sulsel dengan nikel-nya.
Tidak bisa dipungkiri, sekitar 70 persen output perekonomian Papua disumbangkan hanya oleh satu perusahaan pertambangan, yaitu PT Freeport. Sementara kontribusi industri pengolahan masih relatif kecil atau bahkan mengalami deteorisasi. Pertumbuhan sektor pertambangan jauh lebih besar dibandingkan sektor industri pengolahan berbasis pertanian (agroindustry).
Demikian juga dengan Sulawesi, khususnya Sulsel dan Sultra yang mengandalkan komoditas pertambangan nikel. Perusahaan nikel terbesar di Sulsel adalah PT Inco dengan konsesi lahan yang sangat luas dan berjangka panjang. Ekspor utama Sulsel ke sejumlah negara dalam beberapa tahun terakhir sangat bergantung pada satu komoditas saja, yaitu nikel. Perekonomian Sulsel belum juga bergerak ke resources based industry (industri berbasis SDA). Secara sektoral perekonomian Sulsel masih sangat didominasi oleh sektor perdagangan dan pertanian. Sektor industri pengolahan masih tercecer di belakang dan bahkan mengalami proses pelambatan dengan pertumbuhan yang lebih kecil dibanding sektor lainnya.
Kecenderungan yang lebih parah lagi terjadi di Kaltim, yaitu eksploitasi tambang besar-besaran hanya menyisakan problem lingkungan yang serius. Banyak yang memprediksi bahwa suatu saat Kaltim akan menjadi daerah miskin ketika rezeki migas sudah mulai menipis. Pemerintah lalai atau alpa dalam menggerakkan sektor industri manufakturnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pembenahan sistem pemerintahan, pengalihan investasi, dan penyokongan ekonomi ke bidang industri lain, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberdayaan sumber daya alam. Contoh negara yang telah berhasil mengatasi hal tersebut dan menjadikan kekayaan alam sebagai pemicu pertumbuhan negara adalah Norwegia.
Jadi yang masih ribut ribut akan Masalah Freeport, Sudahlah!
Sumber daya manusia itu lebih penting dari sumber daya alam, lihat Singapura yang tidak punya apa-apa tapi kaya raya.
Dan anekdot “negara kita sebenarnya kaya” itu hanya membuat kita “manja”, karena anggapan seperti itu hanya menghasilkan pola imajinatif yang bikin kita terpaku pada nostalgia : Masa kejayaan Majapahit, “kemajuan” era orde baru, ataupun “self defence” yang utopis terhadap realitas yang kita jalani sekarang.
Jangan terpaku pada Nostalgia!
Seperti jomblo yang tidak bisa move on saja, Jangan menjadi pecundang yang berada di atas kasur 24 Jam, lakukan sesuatu yang produktif ! mari kita bangkit dengan belajar bersama memahami kehidupan dan tentunya dengan perspektif yang berbeda.
Nostalgia itu untuk orang tua, generasi muda mari buat sejarah baru untuk Indonesia!
Resedivis_ @ Perspektif
All Rights Reserved
http://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/basics/dutch.htm
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0305750X9190205V
http://journal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/view/2287/2086
Sumber gambar:
No hardfeel min. Menurut pendapat saya, benar SDM harus di kembangkan untuk majunya indonesia. Dan untuk bisa mencapai SDM yang baik, harus juga ada pendidikan yg memadahi. Tapi mari liat realitas yang ada. Masih banyak yg gabisa mengenyam pendidikan. Jika dilihat pula, orang yg kaya dindonesia jg banyak. Apakah ada orang yg ekonominya sudah tinggi tapi mau berbagi? Adaa.. tapi apakah mencakup semuanya? Tidak. Kenapa bisa begitu? Ego. Jadi yang paling pertama harus di rubah itu adalah cara berpikir para “orang kaya” yg harusnya prihatin. Lalu baru bisa berbicara tentang meningkatkan kualitas sdm indonesia. Kedua. Tentang freeport. Ga seharusnya dilupakan atau “sudahlah”. Jika membuka mata, itu juga adalah salah satu bentuk penjajahan (halus). Tanah milik orang papua kenapa tiba2 di ambil pemerintah dan di jual. Itulah permainan politik. Harusnya dengan adanya masalah freeport masyarakat harus lebih berjuang agar sda yg dimiliki tidak terus2an diambil negara lain. Pemerintah juga harusnya turun tangan. Bukan malah terus memperpanjang. Sebenernya pendapat saya masih banyak tentang artikel ini. Cuma ngetiknya cape. Salam damai
LikeLike
Bung, mental si bung ini seperti ‘orang kaya’ saja, ngetik aja cape 😁
Begini bung, tiap informasi yg didapat setiap orang adalah relatif, mungkin bung lebih paham dengan latar belakang informasi yg sedemikian rupa hingga bicara ‘mindset orang kaya yg mesti diubah’, pun saya tidak menyebutnya keliru.
Mari kita lihat fenomena-fenomena tersebut lebih luas lagi, lalu analisis dengan lebih dalam(tentunya dengan tambahan sumber informasi yg kaya-membaca) sehingga mental kita tidak menjadi seperti ‘orang kaya’ yg tidak prihatin.
Sama saja seperti si bung, ngetik gini mah cape, mending chatting, seru. Tp apa salahnya meluang kan waktu untuk berpendapat lebih kritis bukan? sekalipun di kolom komentar ini yg mungkin sedikit orang yg melihat atau bahkan sudi untuk membaca 😁
Salam,
Satuan kelas menengah ngehe
LikeLike